Pages

Jumat, 10 Juni 2011

Si Keberuntungan

0 komentar

“Nih, hasil ulanganmu. Kamu dapat 50. Tapi bukan salahku, lho. Aku cuma kebagian meriksa punyamu.” Kata Pikan. Khya hanya bisa menatap dengan penuh kecewa pada selembar kertas yang tadi diberikan oleh Pikan. Lalu ia melihat kertas yang ia periksa. Milik temannya yang lain. Jawabannya hampir sama dengan jawaban anak yang ia periksa pekerjaannya. Tetapi nilainya terpaut jauh. Jauh lebih tinggi. 65! Bayangkan beda 15 poin dengan miliknya.
Disha agaknya mengetahui keadaan yang menimpa sahabatnya. Ia menatapnya dengan prihatin. Tetapi ia bingung harus berkata apa. Akhirnya ia hanya diam dan mengelus pundak Khya.
“Ini bukan yang pertama, lho...” katanya memelas. Disha mengangguk. Ia tahu persis perilaku sahabatnya ini. Terlalu baik.
“Ayolah! Masih banyak ikan di laut! Masih banyak kesempatan di waktu yang akan datang!” Disha menyemangati. Tak tega juga menyalahkan hal ini pada Khya.
“Hei, itu kertasku, kan? Sini!” kata diaz kasar. Khya yang inosen mengulurkan kertas yang ia periksa. Diaz menerimanya. Ia tak langsung pergi. Ia meneliti kertasnya sambil sesekali mengintip ke lembar jawaban Khya.
“Ya ampun, aku gak curang, kok, meriksanya,” kata Khya yang curiga melihat gelagat diaz. Tanpa menghiraukan perkataan Khya, diaz berkata,
“Kok nilaiku lebih bagus dari kamu? Aku tadi nyontek di kamu, lho.”
“Yaah, itu cuma kebijaksanaan dari aku aja. Udah, lah. Jangan banyak protes. Udah baik juga aku kasih nilai segitu.”
“Kamu terlalu baik, Khya. Kalau kamu begitu terus kamu bakalan rugi lho. Nyadar nggak sih, kamu tuh jadi keberuntungan orang lain. Dan itu cuma buat kamu rugi.” Diaz berkata dengan tegas dan sungguh-sungguh.
“Aku... kayaknya gak bisa berubah. Sudah, deh. Biarin aku dan apa adanya aku.” Khya berpaling dari diaz.

Sampai hari-hari berikutnya Khya masih memikirkan ucapan diaz. “Kamu tuh jadi keberuntungan orang lain. Dan itu cuma buat kamu rugi,”. Terngiang kembali perkataan diaz kala itu. Khya yang sedang melamun sendiri di kelas­­ (anak-anak lain ke kantin sedangkan ia berpuasa).
Huufft... Khya menghela napas. Kata-kata itu ada benarnya, tetapi juga ada salahnya. Menjadi keberuntungan orang lain kan berarti memberi rejeki kepada orang lain. Pikirnya. Dan itu bukan kerugian. Tapi, kapan aku beruntung kalau aku yang jadi kebruntungannya orang lain. Batinnya.
Sambil berpikir-pikir begitu, tiba-tiba ia melihat sebuah dompet di dekat tempat sampah. Dompet yaang kelihatan bagus dan mahal. Tanpa ragu ia segera memungutnya. Dan tanpa membuka bahkan mengintipnya sedikitpun, ia menaruh dompet itu ke dalam tasnya agar aman. Dalam benaknya, begitu senangnya bisa melihat pemilik dompet itu, yang mungkin temannya sendiri, merasa lega dan bersyukur karena dompetnya ketemu. Ia terus melamun hingga...
BRAKK!! Hantaman keras di meja Khya membuatnya bergidik.
“Ada yang lihat kamu ngambil dompet dari tasku!” bentak Pikan yang tahu-tahu ada di depannya. Tiga temannya ada di belakangnya memasang tampang-tampang sinis dan sadis. Khya kaget bukan main. Ia mengeluarkan dompet yang ia temukan.
“Aku nggak ngambil dari tas kamu, tau! Aku nemuin itu dari...” belum selesai Khya memberi penjelasan, Pikan langsung menyambar dompet dari tangan Khya.
“Alaaah, nggak usah banyak bacot! Mana ada maling ngaku!” kata Pikan sadis. Khya sangat sakit hati. Matanya mulai panas dan berair.
“Jangan nuduh kalo gak ada bukti!” kata seseorang dari belakang. Tak lain dan tak bukan ialah Disha yang gagah berani. Ia maju melangkah mendekati Khya yang ingin menangis.
“Yang paling penting sekarang, dompet kamu udah ketemu, kan, miss tripple J?” sambungnya. Pandangan mata Pikan seolah bertanya apa kepanjangan 3J itu. Akhirnya dengan mantap dan tepat di depan muka Pikan, Disha berkata,
“Triple J, Judes, Jutek dan JELEK!”
Wajah Pikan memerah. Ia ingin menampar orang di depannya itu jika tidak ingat kalau Disha adalah anak pemberani yang jago karate. Alhasil Pikan hanya bisa menahan marah dan keluar kelas diikuti tiga pengikut setianya, setelah sebelumnya berkata dengan keras,
“Liat aja nanti! Semua ini gak akan berhenti di sini!”
Begitu Pikan pergi, Disha langsung duduk di samping Khya.
“Ada apa, sih?” tanyanya. Khya menceritakan kejadian yang dialaminya.
“Dasar anak tidak tau diuntung. Udah baik juga ada yang mau ngambilin dompetnya.” Ucap Disha. Khya mengangguk pelan. Perasaannya tidak enak. Tiba-tiba seorang guru masuk.
“Khya Cahyaningsih, segera ke ruang BK.” Ucapnya tegas. Khya dan Disha bingung.
“Ada apa, ya, Pak?” tanya Disha. Tapi pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Sebab sang guru telah membawa Khya dengan cepat menuju ruang BK. Melihat hal itu, Disha dan beberapa teman Khya mengikutinya.

Di ruang BK.
“Mana uang temanmu?” kata seorang guru pelan dan tenang. Khya bingung dan menggeleng-geleng.
“Uang apa, Bu? Saya tidak ngambil uang siapa-siapa,” ucapnya.
“Mana mungkin mau ngaku dia, Bu. Tapi bagaimanapun dialah yang curi uang saya. Siapa lagi, coba, kalau bukan dia.” Kata Pikan ketus.
“Pikan, bagaimanapun juga tidak baik bersu’udzhon. Belum tentu anak ini yang mencuri.”
“Ibu gak boleh gitu, dong! Jangan lihat tampangnya yang melasin. Tampang gak bisa menjamin, lho, Bu!”
“Tapi saya betul-betul tidak mencuri, Bu.” Bela Khya.
“Kamu bilang begitu pasti gara-gara Bu Wati tadi agak bela kamu!” bentak Pikan. Ia lalu menoleh ke Bu Wati, “Tuh kan, Bu! Gara-gara Ibu jadi ni anak mulai berani ngelawan!”
“Pikan! Jaga mulutmu!” gertak Bu Wati. Pikan langsung terdiam.
“Ayo kita ke kelas!” perintahnya.
Mereka bertiga pun menuju kelas. Tidak hanya Bu Wati, Pak Tatang dan Bu Suji juga ikut membantu. Di kelas semua anak telah duduk rapi di bangku masing-masing dan menanti dengan penasaran tentang siapa pelakunya.
“Anak-anak, karena teman kalian kehilangan uang dengan jumlah yang cukup besar, maka akan dilakukan pemeriksaan. Silahkan kalian berurutan mulai dari yang pojok untuk keluar dengan sebelumnya akan diperiksa.” Kata Bu Wati. Satu per satu murid keluar dan diperiksa oleh Bu Suji. Sementara Pak Tatang dan Bu Wati memeriksa tas murid-murid. Setelah selesai, murid-murid disuruh masuk kembali dan melanjutkan pelajaran seperti biasa. Tidak ada yang tahu dan diberi tahu tentang kasus tersebut.
Bel pulang berbunyi. Khya dipanggil oleh Bu Wati ke ruangannya. Ketika sampai di ruang BK, Khya kaget melihat telah ada seseorang di sana. Ia menunduk menangis dan sesenggukan.
“Pi... Pikan?” tanya Khya sambil mendekatinya. Oleh Bu Wati ia dipersilahkan duduk di sebelah Pikan.
“Aku... Aku minta maaf...” pelan Pikan pada Khya. Khya masih tidak mengerti.
“Aku sudah nuduh kamu. Itu... sebenarnya... hik hik hik...” Pikan tidak berani melanjutkannya. Khya menatapnya dengan heran dan simpati, meski ia tidak mengerti apa yang Pikan maksud. Ia pun memandang penuh tanya pada Bu Wati. Sambil tersenyum, Bu Wati menjelaskan,
“Uang Pikan tidak dicuri. Pikan membelanjakan uang yang sebenarnya diberikan orang tuanya untuk dibayarkan ke sekolah. Dan untuk menutupi itu, ia membuat skenario palsu dengan kamu sebagai korbannya.”
“Soal...nya, aku... pikir, kalo kamu... gak bakal bisa ngelawan...” Pikan masih menangis. Khya bingung, ia ingin marah, tapi tak sampai hati. Ia teringat sesuatu,
“Kalau begitu, bagaimana Ibu tahu kalau itu yang sebenarnya terjadi?”
“Orang tua Pikan menelpon sekolah untuk menanyakan biaya sekolah anaknya. Dan setelah pihak sekolah mengintrogasi Pikan, akhirnya ia mengaku.”
“Khya, ka..mu jangan... bilang sama.. yang lain... ya,” pinta Pikan. Khya menoleh, lalu mencoba tersenyum dan mengangguk.
“Khya, ini juga jadi pelajaran buat kamu, Nak. Ibu tahu kadang kamu terlalu baik. Dan itu bukan sesuatu yang salah. Hanya saja, kamu harus bisa mempertahankan apa yang menjadi hakmu. Jangan sampai karena sifatmu itu kamu ditindas. Cobalah untuk sedikit lebih berani.”
“Iya, Bu. Terimakasih. Tapi, ada yang bilang saya ini keberuntungan. Dan bukan orang yang beruntung.” Ucapnya pelan.
“Keberuntungan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang beruntung. Berarti kamu selalu dikelilingi orang-orang yang beruntung dan itu berarti kamu adalah orang yang beruntung. Ah, intinya, rezeki seseorang telah dijatah masing-masing sejak lahir hingga ajal menjemput nanti. Jadi, siapa pun kamu, pasti telah mempunyai rezeki dari-Nya.”
“Iya, Bu. Terimakasih. Saya akan menjadi keberuntungan yang beruntung.”

~~End~~

twitter penclokan para artis chatting

0 komentar


 

twitter. memang sudah tak asing lagi bagi kita. nama itu sangat bersahabat dengan kita bahkan ada yang setiap detik dan menit selalu berhadapan dengan yang namanya twitter. twitter sedang marak setelah facebook. walaupun facebook sebenarnya juga masih dipergunakan oleh facebooker. tidak ketinggalan para artispun juga lebih menyukai twitter ketimbang facebook. para artis berlomba-lomba update status mungkin supaya mereka tambah populer kali yaaa....sebenarnya facebook itu sma dengan twitter sama-sama tempat untuk chatting

  namun karena banyak artis itulah twitter semakin laris dipasaran. kita bisa melihat status para artis tanpa di follow back tidak seperti facebook. nah itu tadi sedikit perbedaan sedikit dan pendapat tentang twitter.

pandangan facebook

0 komentar
pertama-tama kita akan membicarakan facebook karena memang facebook lebih populer duluan. facebook adalah sarana chatting anak muda sekarang. saking populernya facebook dianggap sebagai sarana pergaulan, walaupun sebenarnya banyak fasilitas chatting selain facebook. anak ma jaman sekarang kadang lupa waktu dan lupa kewajiban karena ulah si facebook ini. ini adalah sisi negatif dari facebook.

 banyak juga sisi negatif dari facebook. barangsiapa yang tidak bisa menggunakan facebook dengan tepat pasti akan mendapat buruknya. seperti contoh anak dibawah umur yang ingin menjadi anak gaul dengan cara mencari pacar/pasangan lewat facebook ini malah tertipu dan akhirnya kejadian yang tidak diinginkanpun terjadi seperti pemerkosaan,penculikan semuanya tidak menguntungkan. tapi juga ada sisi positif dari facebook. facebook dapat mempertemukan kita dengan teman lama yang sudah hilang kontak dan gag sengaja malah bertemu dalam dunia maya ini.